1.
Kerusuhan Sambas
Kerusuhan
Sambas adalah pecahnya kerusuhan antar
etnis di wilayah Kabupaten Sambas dan sekitarnya. Kerusuhan di Sambas
sudah berlangsung sekitar tujuh kali sejak 1970,
namun yang terakhir ini (tahun 1999)
merupakan terbesar dan akumulasi dari kejengkelan Melayu dan suku Dayak terhadap ulah oknum-oknum pendatang
dari Madura. Akibatnya, orang-orang keturunan Madura yang sudah bermukim di
Sambas sejak awal 1900-an itu ikut menanggung dosa perusuh. Korban akibat
kerusuhan Sambas terdiri dari, 1.189 orang tewas, 168 orang luka berat, 34
orang luka ringan, 3.833 rumah dibakar dan dirusak, 12 mobil dan 9 motor
dibakar/dirusak, 8 masjid/madrasah dirusak/dibakar, 2 sekolah dirusak, 1 gudang
dirusak, dan 29.823 warga Madura mengungsi.
Latar
belakang
- Awal peristiwa dilatar
belakangi kasus pencurian ayam oleh seorang warga suku Madura yang
ditangkap dan dianiaya oleh warga masyarakat suku Melayu.
- Peristiwa berkembang dengan
bergabungnya ratusan warga suku Madura dan menyerang beberapa warga suku
Melayu yang berakibat 3 orang suku Melayu meninggal dunia dan 2 orang
luka-luka.
- Selain itu terjadi pula kasus
perkelahian antara kenek angkot warga suku Melayu dengan penumpang angkot
warga suku Madura yang tidak mau membayar ongkos.
- Akibatnya terjadi saling balas
membalas antara warga tempatan yakni suku Melayu dan suku Dayak menghadapi
warga suku Madura dalam bentuk perkelahian, penganiayaan dan pengrusakan.
- Peristiwa berkembang dengan
terjadinya kerusuhan, pembakaran, pengrusakan, perkelahian, penganiayaan
dan pembunuhan antara warga suku Melayu dan warga suku Dayak menghadapi
warga suku Madura, yang meluas sampai kedaerah sekitarnya.
- Telah terjadi pengungsian warga
suku Madura secara besar-besaran. Kemudian isu ini dieksploitir oleh
kelompok-kelompok tertentu untuk kepentingannya.
- Peristiwa ini adalah kejadian
yang kesepuluh sejak tahun 1970 dan juga pernah terjadi terhadap etnis
yang lain.
Kronologi
- Pada tanggal 17 Januari 1999
pukul 01.30 WIB telah ditangkap dan dianiaya pelaku pencurian ayam warga
suku Madura oleh warga suku Melayu.
- Pada tanggal 19 Januari 1999
sekitar 200 orang suku madura dari suatu desa menyerang warga suku Melayu
desa lainnya.
- Hari berikutnya terjadi
perkelahian antara warga suku Madura dan warga suku Melayu karena tidak
membayar ongkos angkot. Kejadian ini berkembang menjadi perkelahian antara
kelompok dan antara desa yang disertai pembakaran, pengrusakan dan tindak
kekerasan lainnya.
- Warga suku Melayu dan suku
Dayak melakukan penyerangan, pembakaran, pengrusakan, penganiayaan dan
pembunuhan terhadap warga suku Madura dan selanjutnya saling membalas.
- Peristiwa berkembang dengan
terjadinya pengungsian warga Madura dalam jumlah besar menuju Singkawang
dan Pontianak.
Tindakan aparat keamanan antara
lain :
- Melokalisir dan mencegah meluasnya
kejadian,
- Membantu mengevakuasi para
pengungsi, melakukan pencarian dan penyelamatan suku Madura yang melarikan diri
kehutan,
- Membantu para pengungsi ditempat
penampungan,
- Mengadakan dialog dengan tokoh
masyarakat dan pemuka agama, serta
- Melakukan upaya penegakan hukum
terhadap para pelaku kriminal.
Proses
hukum
Pelaku yang ditangkap 208 orang dan dalam
proses peradilan sebanyak 59 orang, yang terdiri dari suku Madura 13 orang,
suku Melayu 42 orang dan suku Dayak 4 orang. Barang bukti disita 607 pucuk
senjata api rakitan, 2.336 senjata tajam, 76 bom molotov, 86 ketapel, 969 anak
panah, 8 botol dan 8 toples obat mesiu, 443 butir peluru timah, 79 peluru pipa
besi, 349 butir peluru setandard ABRI dan 441 butir peluru gotri
Analisis
Konflik yang terjadi di
Kabupaten Sambas sebenarnya melibatkan tiga kelompok etnis, yakni Melayu,
Dayak, dan Madura. Sebelum kedatangan orang Madura, secara kewilayahan, wilayah
kabupaten Sambas dapat dilihat sebagai dua wilayah dengan kebudayaan yang
berbeda. Di daerah pantai barat terdapat wilayah kebudayaan Melayu yang Islam,
sebagai sukubangsa dominan yang dimasa lampau terpusat di kesultanan Sambas.
Sedangkan di daerah pedalaman (yang sekarang menjadi daerah kabupaten
Bangkayang), yaitu di bagian timur dari kabupaten Sambas, adalah wilayah dari
kebudayaan yang didominasi suku Dayak dengan corak egaliter.
Baik
orang Melayu maupun orang Dayak menyadari keberadaan dan dominasi kebudayaan
sukubangsa di wilayah mereka masing-masing, dan saling, menghormatinya. Karena
itu hubungan antara dua sukubangsa tersebut berada dalam suatu hubungan yang
relatif harmonis dan bercorak simbiotik yang saling menguntungkan. Berbagai
sukubangsa pendatang yang menetap di kabupaten Sambas menyadari adanya dua
kebudayaan sukubangsa yang dominan tersebut, dan mereka menghormatinya dengan
cara hidup sesuai dengan berbagai pedoman yang berlaku menurut kebudayaan dan
pranata-pranatanya, sehingga mereka itu cenderung menjadi seperti Melayu atau
seperti Dayak, tergantung pada dimana wilayah tempat kehidupan mereka sebagai
pendatang. Orang Bugis misalnya, cenderung menjadi seperti orang Melayu dan
bahkan menjadi Melayu, seperti orang Jawa di Bandung (Suparlan, 1972).
Orang Madura
datang dan tinggal di Kalimantan Barat sejak tahun 1892an. Sebelum perang dunia
II, keberadaan mereka secara sosial dan ekonomi di Kalimantan Barat tidak
mempunyai arti penting. Karena, jumlah mereka itu kecil dan karena posisi
sosial mereka yang rendah yang pada umumnya adalah buruh kasar. Pada masa
sekarang, sebelum terjadinya kerusuhan tahun 1999, orang-orang Madura hidup di
hampir seluruh pelosok wilayah kabupaten Sambas, yaitu didesa-desa dan
didusun-dusun maupun didaerah perkotaan.
Orang Madura
hidup mengelompok diantara sesama orang Madura. Orang-orang Madura mempunyai
kecenderungan untuk menyelesaikan berbagai masalah dan persengketaan dengan
cara ancaman dan kekerasan. Tanpa disadari oleh semua anggota sukubangsa yang
ada di Sambas, dengan cara ancaman dan kekerasan inilah maka secara bertahap
kebudayaan dominan Melayu maupun Dayak di tempat-tempat umum di Sambas digeser
dan diganti oleh dominasi kekerasan dari kebudayaan Madura.
Menurut
orang-orang Melayu, Dayak, Cina, Bugis, Jawa, Batak, dan semua anggota
sukubangsa yang tinggal di kabupaten Sambas, baik yang tinggal di daerah
perkotaan maupun yang tinggal di daerah pedesaan, hidup berdampingan dengan
orang Madura hanya merugikan saja. Kerugian harta benda atau kehormatan dan
harga diri. Orang-orang Melayu merasa bahwa orang-orang Madura tidak menghargai
harkat martabat mereka sebagai manusia dan sebagai penduduk setempat, dan orang
Madura juga tidak memandang sebelah mata kepada adat istiadat Melayu yang
mereka junjung tinggi. Orang-orang Madura telah memperoleh keuntungan secara
berlebihan (tanah-tanah pertanian dan kebun, rumah, monopoli kegiatan-kegiatan
berjualan dan bisnis, monopoli eksploitasi batu dan penambangan emas, kayu dan
berbagai hasil hutan lainnya) dengan cara-cara curang, ancaman, pemerasan, dan
kekerasan berupa teror mental dan penyiksaan serta pembunuhan.
Dari latar belakang tersebut, Suparlan menjelaskan bahwa kekerasan yang
terwujud adalah produk dari hubungan antar sukubangsa yang berlaku setempat.
Berbagai sukubangsa pendatang di Sambas telah memperlakukan diri mereka dan
orang-orang Melayu atau Dayak sebagai orang-perorang. Dan, oleh karena itu maka
pada waktu konflik terjadi diantara mereka yang pendatang dengan anggota
masyarakat Melayu atau Dayak maka yang terjadi adalah konflik antar perorangan.
Sedangkan orang-orang Madura di Sambas selalu menonjolkan kesukubangsaan
Maduranya dan bukan orang-perorangnya. Mereka selalu hidup dan bekerja dalam
kelompok-kelompok sebagai orang Madura, membangun solidaritas sosial diantara
sesama mereka yang Madura, dan bila terjadi persengketaan antara seorang Madura
dengan orang Melayu atau Dayak maka persengketaan tersebut akan selalu
diselesaikan oleh kelompok Madura yang bersangkutan.
Ibarat api dalam sekam, sifat-sifat
orang Madura yang sudah tidak bisa ditolerir tersebut akhirnya berubah menjadi
konflik. Frustasi sosial yang meluas dan mendalam karena merasa bahwa kehidupan
mereka itu didominasi secara curang dan sewenang-wenang dan dengan cara
kekerasan oleh orang Madura telah membuat orang Melayu hanya mampu menggerutu
dan mengeluh. Tidak seorang pun di antara mereka, sebelum kerusuhan
Melayu-Madura itu terjadi, yang berani menantang dominasi tersebut. Mereka
hanya ikut bersorak sorai di dalam hati pada waktu terjadi kerusuhan
Dayak-Madura di Sanggau Ledo pada tahun 1996-1997, dimana orang-orang Madura
yang terbunuh cukup banyak jumlahnya.
Kebudayaan dan kesukubangsaan orang Dayak
berbeda dari yang dipunyai oleh orang Melayu. Corak kesukubagsaan orang Dayak
mirip dengan corak kesukubangsaan yang dipunyai oleh orang Madura. Kebudayaan
orang Dayak juga mirip dengan kebudayaan orang Madura. Orang Dayak mampu untuk
melawan kekerasan orang Madura dengan kekerasan dan mampu untuk melawan
kekejaman dengan kekejaman yang sama atau bahkan lebih kejam dari pada yang
telah dilakukan oleh orang-orang Madura. (Suparlan, 2003).
Orang
Madura berani mati karena memang pada dasarnya memegang prinsip “harga nyawa
cuma sebenggol”, selain itu orang Madura juga percaya pada do’a dan jimat atau
isim yang diberikan oleh para kyai atau guru mereka. Sedangkan orang Dayak
memperoleh kekuataan dan keberanian dari roh-roh panglima perang yang menjadi nenek
moyang mereka yang dapat dipanggil sewaktu-waktu untuk melindungi dan
mempertahankan ketentraman kehidupan mereka.
Berbeda
dengan konflik antara orang Dayak dengan orang Madura yang telah terjadi
sebanyak 11 kali, maka konflik antara orang Melayu dengan orang Madura hanya
terjadi sekali yang berupa konflik berdarah antar dua sukubangsa ini secara
besar-besaran dan menyeluruh serta habis-habisan, yakni peristiwa “Parit
Setia,” yang kronologi awalnya adalah Peristiwa “Parit Setia” tersebut bermula
dari peristiwa yang telah terjadi sebelumnya, yaitu pada tanggal 17 Januari
1999, dimana seorang pencuri asal Madura dari desa Sarimakmur, kecamatan Tebas,
tertangkap basah oleh tuan rumah pada waktu sedang mengumpulkan barang-barang
di rumah dari penduduk setempat setelah mebongkar pintu rumah tersebut. Pencuri
sial tersebut dikeroyok, ditangkap, dan dipukuli sampai babak belur oleh tuan
rumah yang kecurian dan oleh para tetangganya. Pada pagi harinya, tanggal 18
Januari 1999, pencuri tersebut diserahkan kepada Pos Polisi setempat. Petugas
kepolisian di Pos Polisi membawa si pencuri ke Puskemas untuk diobati
luka-lukanya, dan setelah itu disuruh pulang. Alasannya
karena Polisi tersebut tidak berani menanggung resiko kalau Pos Polisi diserang
dan dihancurkan oleh orang-orang Madura lainnya.
Apa
yang menyakitkan hati orang-orang Melayu dari peristiwa penyerangan di desa
Parit Setia oleh orang-orang Madura dari desa Sarimakmur adalah teriakan ‘Allah
hu Akbar’ berkali-kali yang dikumandangkan oleh para penyerang tersebut.
Teriakan ‘Allah hu Akbar’ ini dibarengi dengan teriakan-teriakan ejekan “Melayu
Kerupuk” dan “Melayu Kalah 3-0” (artinya orang Melayu di desa Parit Setia
meninggal 3 orang dan tidak satupun orang Madura yang meninggal ataupun terluka
dalam penyerangan tersebut). Peristiwa ini berhasil didamaikan, namun
orang-orang Melayu masih sakit hati karena orang Madura tidak pernah meminta
maaf atas kelakukan mereka.
Pada
tanggal 21 Januari seorang preman Madura yang naik kendaraan umum dari kota
Singkawang ke arah kota Sambas tidak mau membayar biaya angkutan pada waktu dia
berhenti di dekat desa Semparuk. Merasa sakit hati karena dipelototi oleh kenek
dan supir yang orang Melayu, si preman Madura tersebut pulang ke rumah
mengambil clurit. Dengan berbekal clurit dia menghadang kendaraan umum tersebut
yang kembali ke arah kota Singkawang, menyuruh kendaraan tersebut berhenti dan
menclurit si kenek. Pada jam 01.00 tanggal 22 Januari 1999, keesokan harinya,
orang-orang Melayu di desa Semparuk yang sebagian besar adalah para pemuda dan
remaja menyerang rumah si preman Madura yang bernama Rodi bin Muharap. Tetapi
Rodi bin Muharap tidak ditemukan dan sebaliknya seorang pemuda Melayu meninggal
dunia karena ditembak dengan menggunakan senjata lantak oleh orang-orang Madura
teman Rodi.
Peristiwa kematian pemuda Melayu
tersebut membakar kemarahan para pemuda dan remaja Melayu yang sudah tidak
dapat dikendalikan lagi oleh orang-orang tua mereka. Pada jam 02.00 pagi hari
itu juga mereka menyerang dan membakar serta menghancurkan rumah-rumah dan
ruko-ruko milik orang Madura yang ada di desa-desa dan pinggiran kota di
wilayah kecamatan Tebas, Pemangkat, dan Jawai. Sejumlah orang Madura meninggal
dunia dan luka-luka, dan tercatat 60 buah bangunan rumah dan ruko yang
dihancurkan. Kegiatan untuk menghancurkan orang-orang Madura dan rumah-rumah
serta harta benda mereka berlangsung terus sampai tanggal 27 Februari 1999.
Kerusuhan itu terus bergejolak walau telah didamaikan beberapa kali. Bahkan orang
Madura yang merasa sakit hati, kembali mengusik orang Dayak dan kembali
menyebabkan konflik berdarah lainnya pada tahun 1999.
2. Konflik poso
Konflik poso adalah salah satu konflik yang ada di Indonesia
yang belum terpecahkan sampai saat ini. Meskipun sudah beberapa resolusi
ditawarkan, namun itu belum bisa menjamin keamanan di Poso. Pelbagai macam
konflik terus bermunculan di Poso. Meskipun secara umum konflik-konflik yang
terjadi di Poson adalah berlatar belakan agama, namun kalau kita meneliti lebih
lanjur, maka kita akan menemukan pelbagai kepentingan golongan yang mewarnai
konflik tersebut.
Poso adalah sebuah kabupaten yang terdapat di Sulawesi Tengah.
Kalau dilihat dari keberagaman penduduk, Poso tergolong daerah yang cukup
majemuk, selain terdapat suku asli yang mendiami Poso, suku-suku pendatang pun
banyak berdomisili di Poso, seperti dari Jawa, batak, bugis dan sebagainya.
Suku asli asli di Poso, serupa dengan daerah-daerah
disekitarnya;Morowali dan Tojo Una Una, adalah orang-orang Toraja. Menurut
Albert Kruyt terdapat tiga kelompok besar toraja yang menetap di Poso. Pertama,
Toraja Barat atau sering disebut dengan Toraja Pargi-Kaili. Kedua adalah toraja
Timur atau Toraja Poso-Tojo, dan ketiga adalah Toraja Selatan yang disebut juga
denga Toraja Sa’dan. Kelompok pertama berdomisili di Sulawesi Tengah, sedangkan
untuk kelompok ketiga berada di Sulawesi Selatan. Untuk wilayah poso sendiri,
dibagi menjadi dua kelompok besar. Pertama adalah Poso tojo yang berbahasa
Bare’e dan kedua adalah Toraja Parigi-kaili. Namun untuk kelompok pertama tidak
mempunyai kesamaan bahasa seperti halnya kelompok pertama.
Kalau dilihat dari konteks agama, Poso terbagi menjadi dua
kelomok agama besar, Islam dan Kristen. Sebelum pemekaran, Poso
didominasi oleh agama Islam, namun setelah mengalami pemekaran menjadi Morowali
dan Tojo Una Una, maka yang mendominasi adala agama Kristen. Selain itu masih
banyak dijumpai penganut agama-agama yang berbasis kesukuan, terutama di
daerah-daerah pedalaman. Islam dalam hal ini masuk ke Sulawesi, dan terkhusus
Poso, terlebih dahulu. Baru kemudian disusul Kristen masuk ke Poso.
Keberagaman ini lah yang menjadi salah satu pemantik seringnya
terjadi pelbagai kerusuhan yang terjadi di Poso. Baik itu kerusuhan yang
berlatar belakang sosial-budaya, ataupun kerusuhan yang berlatarbelakang agama,
seperti yang diklaim saat kerusuhan Poso tahun 1998 dan kerusuhan tahun 2000.
Agama seolah-olah menjai kendaraan dan alasan tendesius untuk kepentingan
masing-masing.
Awal konflik Poso terjadi setelah pemilihan bupati pada desember
1998. Ada sintimen keagamaan yang melatarbelakangi pemilihan tersebut. Dengan
menangnya pasangan Piet I dan Mutholib Rimi waktu tidak lepas dari identitas
agama dan suku[1].Untuk
seterusnya agama dijadikantedeng aling-aling pada setiap konflik
yang terjadi di Poso. Perseturuan kecil, semacam perkelahian antar persona pun
bisa menjadi pemicu kerusuhan yang ada di sana. Semisal, ada dua pemuda
terlibat perkelahian. Yang satu beragama islam dan yang satunya lagi beragama
Kristen. Karena salah satu pihak mengalami kekalahan, maka ada perasaan tidak
terima diantara keduanya. Setelah itu salah satu, atau bahkan keduanya,
melaporkan masalah tersebut ke kelompok masing-masing, dan timbullah kerusuhan
yang melibatkan banyak orang dan bahkan kelompok.
Sebelum meletus konflik Desember 1998 dan diikuti oleh beberapa
peristiwa konflik lanjutan, sebenarnya Poso pernah mengalami ketegangan
hubungan antar komunitas keagamaan (Muslim dan Kristen) yakni tahun 1992 dan
1995. Tahun 1992 terjadi akibat Rusli Lobolo (seorang mantan Muslim, yang
menjadi anak bupati Poso, Soewandi yang juga mantan Muslim) dianggap menghujat
Islam, dengan menyebut Muhammad nabinya orang Islam bukanlah Nabi apalagi
Rasul. Sedangkan peristiwa 15 Februari 1995 terjadi akibat pelemparan masjid
dan madrasah di desa Tegalrejooleh sekelompok pemuda Kristen asal desa Mandale.
Peristiwa ini mendapat perlawanan dan balasan pemuda Islam asal Tegalrejo dan
Lawanga dengan melakukan pengrusakan rumah di desa Mandale. Kerusuhan-kerusuhan
”kecil” tersebut kala itu diredam oleh aparat keamanan Orde Baru, sehingga tak
sampai melebar apalagi berlarut-larut.
Memang, setelah peristiwa 1992 dan 1995, masyarakat kembali
hidup secara wajar. Namun seiring dengan runtuhnya Orde Baru, lengkap dengan
lemahnya peran ”aparat keamanan” yang sedang digugat disemua lini melalui
berbagai isu, kerusuhan Poso kembali meletus, bahkan terjadi secara beruntun
dan bersifat lebih masif. Awal kerusuhan terjadi Desember 1998, konflik kedua
terjadi April 2000, tidak lama setelah kerusuhan tahap dua terjadi lagi
kerusuhan ketiga di bulan Mei-Juni 2000. konflik masih terus berlanjut dengan
terjadinya kerusuhan keempat pada Juli 2001; dan kelima pada November 2001.
Peristiwa-peristiwa tersebut memperlihatkan adanya keterkaitan antara satu
dengan yang lain, sehingga kerusuhan-kerusuhan dicermati dalam konteks jilid
satu sampai lima.[2]
Namun pola konflik Poso terlalu kompleks untuk dianalisis hanya
berdasar urutan itu, mengigat intensitas dan ekstensitas wilayah dan pelaku
konflik antar tahap memperlihatkan perbedaan yang sangat mendasar. Terdapat
beberapa pola kerusuhan yang dapat dilihat pada kerusuhan di Poso. Pertama,
kerusuhan di Poso biasanya bermula terjadi di Poso kota dan selanjurnya
merembet ke daerah-daerah sekitar Poso. Wilayah Poso kota keberadaan komposisi
agama relative berimbang dan sama. Kedua, kerusuhan yang
terjadi di pusat kota diikuti dengan mobilitas masa yang cukup besar,
yang berasal dari luar Poso, bahkan berasal dari luar kabupaten Poso.
Ketika kerusuhan pertama dan kedua meletus, massa memasuki kota Poso
berdatangan dari kecamatan Ampana, kecamatan Parigi, lage, Pamona, dan bahkan
dari kabupaten Donggala. Ketika kerusuhan ketiga pun meletus, mobilisasi masssa
bahkan semakin membludak, dan jauh lebih besar dari massa yang datang pada
kerusuhan pertama dan kedua.
Pola
ketiga adalah kerusuhan selalu ditandai dengan pemakaian senjata tajam, baik
itu benda tumpul, pedang, parang, bahkan senjata api. Informasi yang didapat
banyak mengakana bahwa kebanyakan korban tewas karena sabetan pedang/parang,
benturan denga benda keras, dan lain sebagainya. Selain itu bukti yang
mengatakan bahwa pada kerusuhan april 2000 diinformasikan 6 korban tewas
disebabkan oleh berondongan senjata api.
Pola
keempat adalah kesalahpahaman informasi dari keduabelah pihak. Pada kerusuhan pertama,
dimulai dengan perkelahian antara dua pemuda Islam dan Kristen, yang kemudian
di blow up menjadi konflik dua golongan agama. Konflik kedua
berakar dari perkelahian dua kelompok pemuda, dan kemudian informasi mengatakan
bahwa kerusuhan itu adalah kerusuhan dengan latar belakang agama.
Konflik pada Desember 1998 dan April 2000 kecenderungannya hanya
tepat disebut ”tawuran”, [3] sebab
konflik hanya dipicu oleh bentrokan pemuda antar kampong, intensitas dan
wilayah konflik sangat terbatas di sebagian kecil kecamatan kota. Solidaritas
kelompok memang ada, tapi belum mengarah pada keinginan menihilkan kelompok
lain. Bahkan, setelah tahu bahwa penyebab bentrokan adalah minuman keras,
kelompok yang berbenturan justru sempat sepakat mengadakan operasi miras
bersama.
Mulai Mei-Juni 2000 dilanjutkan dengan Juli 2001 dan
November-Desember 2001 konflik telah mengindikasikan ciri-ciri perang saudara.
Konflik sudah mengarah pada upaya menghilangkan eksistensi lawan, terlihat dari
realitas pembunuhan terhadap siapa pun, termasuk perempuan dan anak-anak, yang
dianggap sebagai bagian lawan. Telah terbangun solidaritas kelompok secara
tegas melalui ideologisasi konflik berdasar isu agama dan etnisitas, sehingga
konflik menjadi bersifat sanagt intensif (kekerasan dan korban ) dan ekstensif
(wilayah dan pelaku ). Bahkan berbeda dengan dua konflik sebelumnya yang
umumnya menggunakan batu dan senjata tajam, sejak konflik ketiga pada Mei 2000
mereka telah mempergunakan senjata api, yang terus berlanjut hingga konflik
keempat dan kelima, serta beberapa kekerasan sporadis ”pascakonflik”.
Konflik Poso telah memakan korban ribuan jiwa serta meninggalkan
trauma psikologis yang sulit diukur tersebut, ternyata hanya disulut dari
persoalan-persoalan sepele berupa perkelahian antarpemuda. Solidaritas kelompok
memang muncul dalam kerusuhan itu, namun konteksnya masih murni seputar dunia
remaja, yakni: isu miras, isu tempat maksiat. Namun justru persoalan sepele ini
yang akhirnya dieksploitasi oleh petualang politik melalui instrumen isu
pendatang vspenduduk asli dengan dijejali oleh sejumlah komoditi
konflik berupa kesenjangan sosio-kultural, ekonomi, dan jabatan-jabatan
politik. Bahkan konflik diradikalisasi dengan bungkus ideologis keagamaan,
sehingga konflik Poso yang semula hanya berupa tawuran berubah menjadi perang
saudara antar komponen bangsa.
Akar penyebab konflik Poso sangat kompleks. Ada persoalan yang
bersifat kekinian, namun ada pula yang akarnya menyambung ke problema yang
bersifat historis. Dalam politik keagamaan misalnya, problemanya bisa dirunut
sejak era kolonial Belanda yang dalam konteks Poso memfasilitasi penyebaran
Kristen dalam bentuk dukungan finansial. Keberpihakan pemerintah kolonial itu
sebenarnya bukan dilandaskan pada semangat keagamaan, tetapi lebih pada
kepentingan politik, terutama karena aksi pembangkangan pribumi umunya memang
dimobilisir Islam.
Politik agama peninggalan kolonial ini akhirnya telah membangun
dua image utama dalam dalam konstelasi politik Poso, yakni :
Poso identik dengan komunitas Kristen, dan birokrasi di Poso secara historis
didominasi umat Kristen. Namun, di era kemerdekaan fakta keagamaan itu terjadi
proses pemabalikan. Jika tahun 1938 jumlah umat Kristen Poso mencapai angka
41,7 persen, lama-lama tinggal 30-an persen. [4] Data
tahun 1997 bahwa Muslim Poso mencapai angka 62,33 persen, sedangkan Kristen
Protestan 34,78 persen dan Katolik hanya 0,51 persen, ditambah sisanya Budha
dan Hindu. [5]
Proses pembalikan ini bukan akibat pemurtadan, melainkan akibat
migrasi kewilayahan, sehingga komposisi penduduk mengalami pergeseran. Dalam
konteks Poso, konstelasi sosio ekonomi dan politik kultural terpengaruh oleh
realitas perubahan komposisi komunitas ini, terutama beruapa proses pemiskinan
di kalangan penduduk asli. Proses pemiskinan ini terjadi baik karena kultur
kemiskinan maupun akibat kekeliruan kebijakan (kemiskinan structural), seperti
lunturnya ketaatan pada tanah ulayat. Pembangunan jalan-Sulawesi dari Palopo ke
Palu lewat Tentena dan Poso ikut membawa implikasi bagi kian cepatnya proses
migrasi pendatang muslim yang masuk ke wilayah basis Kristen.
Pendatang Bugis yang memiliki kultur dagang kuat dengan
cepat menguasai jaringan perdagangan. Bugis dinilai punya loyalitas keIslaman
kuat, hamper selalu membangun tempat ibadah di setiap komunitas mereka tinggal.
Realitas ini tidak saja menandai terjadinya pergeseran komunitas etnis, tetapi
sekaligus dalam komunitas keagamaan.
Fakta pergeseran komunitas keagamaan ini pada akhirnya
berpengaruh pula pada konstelasi politik Poso. Dengan digalakkannya program
pendidikan era kemerdekaan, kaum terdidik dari kalangan Muslim bermunculan, dan
berikutnya mulai ikut bersaing dalam lapangan birokrasi. Di sinilah, politik
komunitas keagamaan mulai bermain pula dalam dunia kepegawaian, antara
lain: (1). Kristen yang semula dominan mulai dihadapkan pada saingan baru
kalangan Islam. (2). Jabatan strategis yang semula didominasi Kristen, secara
alamiah terjadi peralihan tangan. Dalam situasi inilah politik agama dalam
konteks birokrasi kepegawaian mulai merasuk dalam kehidupan masyarakat Poso.
Perspektif komunitas keagamaan dalam konteks persaingan politik birokrasi,
lengkap imbasnya berupa pembagian berbagai proyek pada orang-orang dekat, telah
menjadi wacana penting dalam mencermati konflik Poso.
Dari situ tampak sekali bahwa aktor-aktor terlibat dalam
konflik sebenarnya sangat kompleks melibatkan elemen-elemen birokrat, para
pelaku ekonomi, disamping kelompok kultur keagamaan, yang pada gilirannya
melibatkan pula kekuatan-kekuatan dari luar Poso dengan segala kepentingannya,
mulai dari para laskar, aparat keamanan, birokrat pada level propinsi ataupun
pusat yang memanfaatkan persoalan Poso untuk kepentingan
Analisis
Banyak pihak mengasumsikan bahwa konflik Poso adalah
konflik SARA yang lebih mengarah pada agama. Apalagi informasi yang berkembang
di masyarakat adalah satu peristiwa malam natal tahun 1998, yang pada saat itu
bertepatan dengan bulan ramadhan bagi umat Islam. Seorang remaja dari kampung
Kristen, Lombogia, menusuk seorang remaja muslim dari kampung muslim,
Kayamanya. Akibat peristiwa sepele ini kemudian menyulut kerusuhan walau masih
seputar kota Poso.
Atas dasar inilah kemudian menggiring asumsi public
menyimpulkan bahwa kerusuhan Poso adalah konflik agama. Namun bila ditelisik
lebih mendalam, sesungguhnya bentuan antara Kisten dan Islam saat itu tidak
lebih hanya sebagai bias dari transisi politik, demografi serta ekonomi di Poso
Saat itu. Gery Van Klinken (2005) menjelaskan bahwa kerusuhan Poso pertama pada
tahun 1998 terjadi bersamaan dengan transisi politik di Kabupaten Poso.
Konflik terkait penentuan pengganti bupati Poso yang
sudah menyatakan diri tidak akan mengikuti pilkada lagi. Baik bupati kepala
daerah yang masih menjabat maupun calon penggantinya diunggulkan bukan
orang-orang yang mempersoalkan agama. Tetapi ketika kelompok pelobi mulai
menghimpun dukungan masing-masing, agama kemudian menjadi hal menentukan. Lobi
elit Kristen mendukung Yahya Patiro, Sekwilda yang masih menjabat. Meski Yahya
anggota partai Gokar, namun dukungan paling kuat dating dari PDI yang memiliki
hubungan dengan gereja Protestan GKST berpusat di Tentena dan di pegunungan di
selatan Poso. Sementara pelobi muslim mendukung Damsyik Ladjalani, asisten I
Sekwilda. Seperti halnya Yahya, Damsyik juga salah satu anggota Golkar namun
dukungan lebih kuat dating dari partai PPP serta organisasi-organisasi muslim
lainnya. (Klinken, 2005).
Pasca pelantikan gubernur, kedua kubu pelobi muslim dan
Kristen kembali menekan gubernur untuk memilih calon bupati yang mereka dukung
masing-masing. Kelompok muslim meminta agar Damsyik Ladjalani diangkat sebagai
sekwilda setelah pada pemilihan dikalahkan Yahya Patiro. Ketika gubernur
menolak membatalkan pilihannya sendiri dan meneguhkan pejabat sekwilda yang
bukan dari partai politik. Setelah peristiwa tersebut, kerusuhan mulai menyebar
dari Poso hingga ke seluruh wilayah kabupaten. Ratusan prajurit didatangkan
dari luar Poso tapi konflik tidak bisa dihentikan, dan berlangsung sampai
kurang lebih 3 tahun.
Dari aspek demografi dan ekonomi, Eddy MT Siantury
(2005), menjelaskan piramida konflik Poso ini bertingkat tiga. Pada lapisan
dasar primida konflik Poso ini ditemukan berbagai transformasi mendasar yang
merubah wajah Poso untuk selamanya. Transformasi ini ada dua jenis yaitu;
Pertama, transformasi demografik; walaupun Poso telah dimasuki oleh pendatang
Kristen dan Islam sejak masa pra-kolonial, proporsi migrasi yang signifikan
baru terjadi pada masa Orde Baru sejak dibangunnya prasarana jalan trans-Sulawesi
dan pembangunan berbagai pelabuhan laut dan udara. Para pendatang ini masuk
dari arah Utara dan Selatan, akibatnya proporsi pendatang terutama yang
beragama Islam semakin besar mendekati proporsi umat Kristen baik di Poso
Pesisir maupun di Pamona Selatan. Umat Kristen yang banyak mendiami wilayah
tengah Poso merasa terjepit dan terancam.
Kedua, transformasi
ekonomi; kegiatan perdagangan secara perlahan, tapi pasti mulai mengambil alih
peran ekonomi pertanian. Sektor perdagangan terpusat di perkotaan lebih banyak
dikuasai pendatang beragama Islam. Keadaan ini makin menebalkan rasa
keterdesakan dari penduduk asli yang berbasis pertanian dan beragama
Kristen.
Kedua transformasi mendasar diatas
secara kebetulan melibatkan kedua umat beragama di Poso berhadap-hadapan secara
diametral. Kenyataan transfor-masi struktural kemudian mengendap dalam
kesadaran kolektif masing-masing umat beragama. Tepat pada saat inilah para
warga setiap umat itu kemudian mulai bertarung. Pertama pertarungan itu dilakukan
dalam arena politik dengan memperebutkan berba-gai posisi strategis baik dalam
partai-partai politik maupun dalam pemerintahan. Selama masing-masing pihak
berhasil meraih posisi-posisi strategis itu secara berimbang, dan karena itu
dirasakan adil dalam wujudpowersharing pertarungan itu tidak
meletup dalam bentuk kekerasan fisik. Berakhirnya masa jabatan Bupati lama dan
dimulainya pemilihan bupati dan sekwilda baru membuka peluang pertarungan baru
yang ternyata gagal diselesaikan secara politik. Maka berubahlah pertarungan
itu menjadi pertarungan fisik yang berdarah-darah.
3.
Konflik Ambon
Kerusuhan Ambon 2011 adalah serangkaian kerusuhan yang dipicu oleh bentrokan antarwarga di Kota Ambon,
Maluku,
Indonesia
tanggal 11
dan 12 September
2011. Dua kelompok massa
saling melempar batu, memblokir jalan, dan merusak kendaraan di sejumlah titik
di Kota Ambon[1][2] serta sejumlah rumah
warga dibakar.[3][4] Akibat peristiwa ini,
tujuh orang tewas, lebih dari 65 orang luka-luka,[5] dan ribuan orang
mengungsi.[6]
Kerusuhan ini sempat dikabarkan bermuatan SARA,[7]
walaupun pihak berwenang kemudian membantah hal tersebut.[8]
Latar belakang
Menurut keterangan Kepolisian kepada pers
pada 11 September 2011, kerusuhan ini bermula dari kematian seorang tukang ojek bernama Darkin Saimen[9]
atau Darmin Saiman[10][11]
atau Darvin Saiman[12]
atau Darwis Saiman.[13]
Pria ini mengalami kecelakaan tunggal dari arah stasiun TVRI, Gunung Nona, menuju
pos Benteng. Di daerah sekitar tempat pembuangan sampah, yang bersangkutan
hilang kendali dan menabrak pohon gadihu. Ia kemudian menabrak rumah seorang
warga di sana bersama Okto. Nyawa tukang ojek itu tak terselamatkan sebelum sampai ke rumah sakit. Hal inilah yang menimbulkan dugaan ia sebenarnya dibunuh, bukan karena kecelakaan. Sedangkan dari hasil otopsi dari dokter, dinyatakan bahwa dia mengalami kecelakaan murni. Berdasarkan keterangan saksi dan hasil otopsi, semua tidak ada tanda-tanda kekerasan [14].
Akibat
Pertikaian akibat kematian pria tersebut, terjadi antara
dua kelompok. Mereka saling melempar batu dan merusak sejumlah fasilitas. Dua
kelompok melakukan lempar-melempar dan sekarang sudah diredam.Kadiv Humas Mabes Polri, Irjen Anton Bachrul Alam mengatakan korban tewas dalam kerusuhan Ambon akibat luka tembak.
Untuk bangunan yang dirusak tiga rumah, empat motor dan dua mobil. Namun Polisi belum dapat memastikan tembakan tersebut berasal dari aparat atau warga.
Dalam peristiwa tersebut tiga orang meninggal dunia di RS Al Fatah sama RS umum selain itu ada warga yang mengalami luka tembak menurut Kadiv Humas Mabes Polri, Irjen Anton Bachrul Alam, di Mabes Polri, Jakarta Senin (12/9/2011).
Selanjutnya, Anton menambahkan puluhan warga lainnya juga mengalami luka berat dan ringan. Luka berat 24 orang, luka ringan 65 orang. Data Kecelakaan berbeda lagi, ini yang rusuh. Ada yang terkena lempar batu. [15]
Pasca Kerusuhan
Dua hari pasca bentrok di sejumlah tempat, aktivitas Kota
Ambon masih belum kembali normal. Belum ada perkantoran yang buka, toko-toko
pun masih tutup. Bahkan, Ambon Plasa yang biasanya penuh sesak dengan
pengunjung, tak beraktivitas.Kegiatan belajar-mengajar juga belum sepenuhnya aktif. Hari ini mereka sudah mulai kembali sekolah. Namun, tak semua murid bisa masuk, terutama mereka yang harus melewati daerah bekas bentrokan.
Namun Gubernur Maluku, Karel Albert Rahalu, pagi menyatakan situasi keamanan di Ambon telah kondusif, menyusul penambahan 200 personel Brimob Makassar ke Kota Ambon. Sementara, Wakil Walikota Ambon, Sam Latuconsina menyatakan, sampai saat ini belum ada aktivitas perkantoran pada lingkup Pemerintah Kota Ambon.[16]
Sedangkan para tokoh agama setempat dengan sigap turut memulihkan keamanan. Selanjutnya Majelis Ulama Indonesia (MUI) Maluku dan Sinode Gereja Protestan Maluku (GPM) mengimbau warga untuk hidup dengan damai. Sehingga kondisi yang sebelumnya tegang kembali berangsur pulih.
Analisis
Seperti halnya Poso, sentimen agama juga berkembang menjadi opini
masyarakat dalam menilai konflik Ambon. Peristiwa pemalakan yang dilakukan
Nursalim, seorang preman Bugis terhadap Yopi Louhery warga Batumerah yang
berbuntut dengan aksi saling serang setelah dipicu teriakan Nursalim yang
mengatakan “orang Kristen menyerang saya,” kemudian dianggap sebagai awal dari
kerusuhan yang berakhir dengan korban 10.000 orang tewas, 500 buah fasilitas
peribadatan dihancurkan, serta 60.000 rumah keluarga menjadi puing itu.
Dalam tulisan Jacky Manuputy dan
Daniel Watimanela tentang Konflik Maluku (2004), diterangkan bahwa konflik
Maluku harus dipahami tidak semata-mata sebagai konflik perspektif agama.
Konflik Maluku ditengarai merupakan ledakan dari akumulasi ketimpangan atas
pilihan model pembangunan. Sebelum terjadi kerusuhan, sejumlah indicator
pembangunan telah mengindikasikan tingginya kemiskinan dan keterbelakangan
serta rendahnya kualitas hidup di Maluku.
Data yang
dipublikasikan oleh UNSFIR (United Nations Support Facility For Indonesian
Recovery) pada tahun 2001 menunjukkan bahwa penduduk miskin di Maluku dan
Maluku Utara adalah sebesar 1.013.900 orang atau 46,1% dari total penduduk
Maluku dan Maluku Utara.
Selain kemiskinan, keterbelakangan, dan
rendahnya kualitas hidup. pada beberapa dasawarsa sebelum kerusuhan pembangunan
di Maluku dilaksanakan dengan pendekatan pembangunan yang terpusat
(sentralistik). Hal ini menyebabkan pemerintah daerah kehilangan kemandirian
dan melemahkan kemampuan (kapasitas) kelembagaannya dalam mengelola pembangunan
di daerah secara otonom. Kondisi ini kemudian melahirkan praktek pungutan liar
yang menciptakan ekonomi biaya tinggi di tengah rendahnya pendapatan. Bersamaan
dengan itu perubahan demografi akibat terjadinya migrasi masuk selama ratusan
tahun telah menghasilkan suatu interaksi antar masyarakat sehingga menimbulkan
pergeseran nilai serta perubahan sikap dan prilaku.
Sebagai dampak turunan dari
kepadatan demografi akibat migrasi tersebut ialah terjadinya pengelompokan
pemukiman pendatang yang ekslusif namun kumuh pada wilayah pasar dan
lokasi-lokasi di sekitarnya. Dengan munculnya kantong-kantong pemukiman yang
berada diluar jangkauan pemerintah daerah juga mengakibatkan mereka sulit
dikontol oleh aparat setempat. Dari kalangan itu juga kemudian muncul beberapa
perkumpulan preman yang kerapkali beraksi di sekitar pertokoan dan
tempat-tempat keramaian. Terjadi praktek broker yang dilakukan
oleh distributor kecil dari kelompok BBM (Buton, Bugis, Makassar) untuk
menguasai barang dan menentukan harga.
Tidak hanya itu, di
kalangan pemuda dan mahasiswa pun sejak reformasi digulirkan telah terjadi
polarisasi kepentingan kelompok yang semakin menguat. Penentuan jabatan rector
dan pembantu rector, serta jabatan dekan di fakultas-fakultas menjadi sangat
politis dan dianggap sebagian dari proses kekuasaan. Muncul kubu-kubu yang
saling berseberangan dan mulai mempersoalkan relasi antar subjek dengan
mengambil latar pebedaan Islam dan Kristen. Presentase dosen pun dipersoalkan
dan akhirnya mereka mulai mengambil jalan keluar dengan melakukan perimbangan
menurut agama.
Seperti halnya bom waktu,
keempat factor tersebut kemudian meledak dan menjalar begitu cepat sesaat
setelah peristiwa tanggal 19 Januari 1999 itu terjadi. Secara tersistematis,
unsur-unsur penyebab konflik Ambon telah ada jauh sebelum konflik hingga pada
akhirnya berakhir dengan pencatutan atribut agama sebagai dalang dibalik
konflik tersebut terus dijadikan bahan acuan opini public untuk menyatakan kasus
konflik Ambon adalah konflik SARA yang menjurus pada agama Islam dan
Kristen.
No comments:
Post a Comment